Penulis: Kyai Jenal (Ketua LBM NU Bandung Barat)
Dalam masalah ini, para ulama fiqih (fuqaha) berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkan secara mutlak memakan daging kurban nadzar, baik kurban tersebut sudah ditentukan hewannya maupun belum ditentukan (masih menjadi tanggungan dalam bentuk janji atau tempo). Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah: Imam Abu Syuja', Imam An-Nawawi, Abu Ishaq Al-Marwazi, Imam Taqiyuddin Al-Hishni, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Imam Zainuddin Al-Makhdum. Menurut mereka, jika seseorang memakan daging dari kurban nadzar, maka ia wajib mengganti sesuai dengan kadar daging yang dimakan.
Namun, apabila tetap bersikukuh mengikuti pendapat tersebut—meskipun merupakan pendapat yang unggul dalam mazhab Imam Syafi’i (المذهب)—justru bisa menimbulkan problematika di tengah masyarakat, terutama ketika jumlah hewan kurban yang dinadzarkan cukup banyak. Hal ini menyulitkan dalam pelaksanaan distribusi, karena sulit memastikan agar orang yang bernadzar tidak ikut memakan bagian dari hewan kurbannya sendiri, apalagi jika daging kurban tersebut disatukan saat pembagiannya.
Oleh karena itu, solusi yang dipandang lebih maslahat adalah mengikuti pendapat Imam Al-Haramain dan Imam Al-Qaffal, dua mujtahid dalam mazhab Syafi’i, yang memperbolehkan secara mutlak memakan daging kurban nadzar. Baik nadzar tersebut dalam bentuk tanggungan yang belum ditentukan hewannya (ta’liq), seperti ucapan: “Lillahi, saya akan berkurban dengan seekor unta”, maupun sudah ditentukan hewannya.
Sebagian ulama memang berpendapat bahwa kurban nadzar yang belum ditentukan hewannya dan masih bersifat tanggungan dianggap sebagai utang yang menjadi milik orang lain. Oleh karena itu, orang yang bernadzar tidak berhak mendapatkan apa pun dari kurban tersebut.
Berbeda halnya dengan kurban nadzar yang sudah ditentukan hewannya secara spesifik, misalnya seseorang berkata: “Lillahi, saya akan berkurban dengan unta ini”. Maka menurut pendapat yang membolehkan, dalam kasus seperti ini diperkenankan untuk memakan sebagian dari daging kurban tersebut.
Referensi :
العزيز شرح الوجيز المعروف بشرح الكبير. ج : 12 ص ؛ 107 . دار الكتب العلمية
( قوله فى الكتاب ) وفى جواز الأكل من المنذورة وجهان : يقتضى ظاهره التسوية بين نذر المجازاة وغيره،وبين الملتزم المعين والمرسل،ولذلك اطلق جماعة،وبالمنع قال أبو إسحاق وذكر المحاملى : أنه المذهب,والجواز إختيار الإمام والقفال
نهاية المطلب ج: 18 ص ؛ 201 . دار المنهاج
والصحية المنذورة اذا اداها الناذر بالنية ففى جواز الأكل وجهان : احدهما المنع من جهة أنها ملتزمة فالذمة فشابهت داء الحبرنات.والثانى أن الأكل منها كالأكل من الصحية المنوية وهذا هو الأفقه فانه نذر الضحية والضحية يجوز الأكل منها فلا تتميز المنذورةن المتطوع بها الا من جهة أن الإقدام على الوفاء بالنذر واجب ولا يجب ذلك دونها
بحر المذهب فى فروع المذهب الشافعى. ج : 4 صو: 215 .دار الكتب العلمية
واما الضحايا والهدايا المنذورة ففى جواز اكله منها وجهان :
أحدهما : وهو قول أبو إسحاق المروزى،لا يجوز أن يأكل منها لأنها خرجت بالنذر عن حكم التطوع الى الواجب ،فلا يجوز أن يأكل من الدماء الواجبة
والثانى : يجوز أن يأكل منها،لأنه تطوع بالنذر فصار كتطوعه بالفعل،والأصح عندى من اطلاق هذين الوجهين أن ينظر فى النذر،فإن كان معينا لم يضمن فى الضمة كقوله : لله غلى أن أضحى بهذه البدنة،جاز ان يأكل منها،وإن كان مضمونا فى الذمة كقوله: لله على أن أضحى ببدنة،لم يجز أن يأكل منها،لأن ما وجب فى الذمة كان مستحقا لغيره وما لم يتعلق بالذمة جاز أن يكون فيه كغيره.والله أعلم ...